Rabu, 07 Mei 2008

MAKALAH DISKUSI KULIAH SUBUH

MAKALAH DISKUSI KULIAH SUBUH

(kristology)

Oleh : Dr Ahmad Ismail M.div[1].

Assalamu’alaikum Wr Wb.

Dulu Johann Baptist Metz, seorang theolog politik berkebangsaan jerman, pernah memberikan sebuah defenisi tentang agama, yang boleh jadi merupakan sebuah defenisi yang paling singkat. Katanya : “religion ist unterbrechung!” agama adalah penghentian. Beragama berarti membuat pemberhentian, mengejutkan, mengatakan stop!

Lain lagi dengan Darwin dan Ernst Heckle. Dulu, charles Darwin bilang bahwa ia merasa tenang dengan menimani adanya Tuhan yang menguasai alam wujud, dan dalam waktu yang bersamaan, dia juga bilang bahwa perasaannya itu tidak mengharuskan orang lain supaya merasa seperti dirinya, dan tidak dapat dijadikan kerangka acuan ilmiah dari mereka yang mengimani Tuhan.

Berbeda dengan darwin yang agak malu malu, Ernst Heckle yang sedikit beraninya juga bilang bahwa kepercayaan kepada satu dzat tertinggi berarti harus membenarkan hukum akal yang menjadi landasan agama Kristen/Katolik.

Saudara saudara di rahmati Allah SWT.

Setiap peradaban besar selalu mempunyai keistimewaan tersendiri dalam menentukan defenisi. Peradaban yang manusiawi mempunyai sifat sifat lahir dan batin, sama seperti alam wujud tempat beradanya peradaban tersebut. Sifat sifat lahiriah ditentukan oleh hukum tingkah laku dalam praktek hidup keseharian, yang dinilai dari status sosial serta apa yang berkaitan dengan pluralitas (kebersamaan) ‘Ada didalam ada bersama dengan sesama’. Sebagaimana halnya dengan pandangan Johann Baptist Metz, Charles Darwin, yang kemudian direhabilitasi Ernst Heckle yang akan saya angkat dalam diskusi ini.

Dalam tataran ini saya melihat bahwa apa yang dikatakan Jhon Baptis, Darwin dan Heckle tidak salah apabila kita secara cermat mengamati perjalanan sejarah Gereja dan pernak perniknya, seperti masalah Bible, Nama Gereja, dogma-dogma gereja[2].

Berbeda dengan dua konseptor Theologis gereja dan pernyataan seorang Atheis yang saya jadikan kerangka acuan diatas, Islam dengan Al-Qur’annya menekankan bahwa dalam menyandarkan iman, harus disertai dengan sikap iman yang kritis. Tentu saja sikap iman yang kritis dalam konteks ini, bukanlah komedi ilahi ala Dante, bahwa Yang Illahi itu adalah seorang panglima perang yang akan mengalahkan musuh musuh kita, kepala biro logistik yang menyediakan persediaan makanan buat kita, asal kita percaya sepenuhnya, semua persoalan kita dibereskan oleh Allah.

Sikap kritis yang saya maksud dalam konteks ini adalah karunia iman yang kita peroleh secara cuma cuma, mengharuskan kita untuk ‘ada’ didalam ‘ada’ bersama dengan sesama, karena Allah SWT telah memberi kebebasan kepada kita, dimana ‘kita’ diberi pilihan hidup yang sangat jelas yaitu keselamatan atau kebinasaan maut, sebagaimana yang termaktub dalam gambaran eskatologis dari isi kitab suci Al-Quran yaitu janji keselamatan bagi pengikut pengikutnya dan celaka untuk penentang penentangnya.

Dalam Prinsip dasar Theologis (konsepsi manusia) Islam ini, saya menarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan ini berangkat dari konteks sadar saya sebagai manusia dalam homo suum humani nihil a me alienum puto, sebagaimana kata mengajar dalam untaian doa’ Assalamu’alaikum wr wb.

Yang pertama adalah : manusia adalah mahluk yang berada dalam sejarah. Dia berada, bergerak dan hidup dalam ruang dan waktu. Hidupnya dikondisikan oleh situasi kebebasan orang – orang lainnya. Dalam arti itu, dia menemukan dirinya sebagai yang sudah ada, sudah tercantumn dalam sejarah. Kedua : dimensi spiritualitas atau transendensi[3]. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa upaya menafsirkan diri merupakan hal yang niscaya bagi manusia.

Kendati dia berada dalam sejarah dan serentak di kondisikan oleh situasi kebebasan sesamanya, dia masih dapat mengambil jarak terhadap situasinya itu. Dia tidak pernah ada begitu saja, akan tetapi sudah selalu berupaya mengerti faktisitasnya dan dengan demikian melampauinya. Upaya penafsiran diri ini merupakan kesadaran yang terus menyertai semua pengertian atau pengalaman dalam sejarah.

Ketiga : aktualisasi transendensi manusia terjadi dalam sejarah. Dia merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya sebagai mahluk yang bebas didalam sejarah dan dalam hubungan dengan orang-orang lain. Keberakarannya dalam dunia dan sejarah merupakan titik tolak untuk transendensi.



[1] Mantan Biarawan dari konggregasi Soverdi,

[2] Lebih lanjut dapat saudara/I baca dalam buku menguak Tirai Kebenaran.

[3] Transendental disini menunjuk pada dua hal yaitu filsafat transendental dan filsafat mengenai transendensi. Yang dimaksud dengan filsafat transendental adalah filsafat yang menyelidiki kondisi-kondisi kemungkinan suatu tindakan pemahaman dan pengetahuan. Yang dimaksud dengan filsafat transendensi adalah refleksi atas pengalaman transendental yakni pengalaman akan keterbukaan atau transendensi dimana struktur pengalaman subjek karena itu struktur akhir dari semua obyek pengetahuan kategorialnya hadir bersama dan dalam identitasnya.

Tidak ada komentar: