Selasa, 01 Desember 2009

BIOGRAFI : KESAKSIAN MENGAPA SAYA MEMILIH ISLAM

Saya dilahirkan disebuah desa terpencil. Desa Bedalewun di pedalaman pulau Adonara kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 15 Maret 1964, dari pasangan Bernadus Suban Pain Ratu dan Maria Fernandes.

Sebetulnya saya hanya numpang lahir di desa ini. Sebab menurut ceritera Ibu, setelah saya berumur 4 minggu, saya dibawa ke Jakarta oleh kedua orang tua saya. Ketika menginjak usia 6 tahun, kakek saya Don Fernandez Pain Ratu dan Oma saya Margaretha Weys (Oma saya keturunan orang Belanda) datang ke Jakarta menjemput saya untuk menemani beliau di kampung, karena dikampung hanya kakek dan nenek sendiri. Ayah saya adalah anak ke tiga dari lima  bersaudara, akan tetapi semua saudara - saudara Bapak tidak ada yang menemani oma serta opa di kampung. Saya sangat senang dan minta ijin dari kedua orang tua saya. Mereka setuju, dan akhirnya kami berangkat menuju Flores Timur.

Ketika berusia enam tahun saya disekolahkan kakek di Sekolah Rakyat Tanah-Boleng (SR), yang hanya sampai kelas dua. Ada satu pengalaman yang sangat lucu dan unik. Orang yang sekolah disini kebanyakan pakai sarung tenun. Ikat pinggangnya dari tali gebang. Hanya saya yang pakai pakaian yang agak sedikit bagus.

Pernah suatu ketika seorang guru saya berdiri didepan kelas dan mengajar ilmu hitung. Ketika beliau berdiri, tali pengikat sarung terlepas…dan apa yang terjadi? Terjadilah suatu penampakan yang sangat luar biasa. Semua murid tertawa terbahak. Sang guru malu dan tidak mau ngajar lagi. Sekolah libur seminggu karena tidak ada guru. Disekolah ini, jumlah murid 43 orang sedangkan gurunya hanya satu.

Ketika tahun 1973 SR Tanah-Boleng (Sekolah rakyat) berubah nama menjadi SDK (Sekolah Dasar Katolik) Tanah Boleng, saya dipaksa kakek untuk meneruskan sekolah dan tamat pada tahun 1977. Banyak sekali pristiwa lucu pada masa itu. Pernah saya di pukul guru karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Saya nangis dari sekolah sampai di rumah. Kakek nanya "kenapa kamu nangis" ? "Saya dipukul guru" jawab saya. 

Kakek langsung ke sekolah dan ngamuk. Sekolah sempat diliburkan dua hari, setelah guru itu minta maaf sama kakek, sekolah itu dibuka kembali. 

Setelah tamat dari sekolah tersebut, saya ditanya Kakek, apakah saya sekolah di Jakarta atau menemani kakek serta nenek dan sekolah di Kampung. Karena berat meninggalkan kakek dan Nenek, saya memilih untuk sekolah di Kampung. Akhirnya saya di sekolahkan di SMP Phaladia Waiwerang-Adonara Timur, yang jaraknya cukup

jauh dengan rumah. Kurang lebih tujuh kilometer. Sekalipun jauh dengan orang tua, komunikasi kami sangat lancar. Setiap hari saya berkomunikasi dengan kedua orang tua serta saudara-saudara saya pakai telepon. Orang kampung bilang pakai kawat. Waktu itu

Di tempat kakek ada telepon yang setiap kali pakai harus diputar pakai tangan sampai keringatan. Telepon peninggalan Belanda, yang kabur ketika tentara dai Nippon menduduki pulau Adonara.

Pada tahun 1980 saya menamatkan SMP. Dan pada saat yang Oma saya meninggal dunia, saya sangat bersedih. Sebelum oma meninggal, dia sempat berwasiat kepada saya bahwa saya harus menjadi Imam (Pastor). Selang dua bulan kemudian, Kakek nyusul Oma. Pada waktu penguburan Oma kedua orang tua saya tidak datang, karena jaraknya sangat jauh dan membutuhkan waktu sebulan setengah (kurang lebih 50 hari kalau lancer perjalanan lautnya). Dua hari sesudah kedua orang tua saya tiba di kampung untuk menengok Opa serta kuburan oma, kakek meninggal. Saya sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan orang yang paling saya cintai. Saya di ajak kembali ke Jakarta sama kedua orang tua.

Di Jakarta saya tidak betah. Disuruh sekolah di Jakarta saya tidak mau. Ibu saya marah - marah, dan mengatakan kepada saya, kalau kamu tidak mau sekolah kamu mau jadi apa ? Jadi penjahat seperti bapakmu (di rumah, bapak di panggil penjahat sama anak anaknya karena bapa tentara) kalau mau jadi penjahat seperti bapakmu, silahkan ikut bapakmu, pergi perang sana !

Saya teringat pesan terakhir Oma dan saya sampaikan sama ibu. Awalnya ibu menertawakan saya, bagaimana mungkin anak saya yang badung ini bisa jadi pastor ?

Entar itu suster-suster pada kabur semua. Ibu sebetulnya bercanda. Malamnya ketika kami makan bersama, wasiat dari Oma dan keinginan saya untuk sekolah pastor di sampaikan mama kepada papa. Papa setuju. Dua hari sesudahnya saya di antar kedua orang tua saya kembali ke Flores, dan mendaftar di SMA Seminary San Dominggo - Hokeng-Flores Timur.

 

Sekalipun mayoritas keluarga saya mengenyam pendidikan di sekolah ini, saya menemukan kesulitan yang sangat luar biasa. Saya harus mengikuti beberapa proses yang sangat melelahkan. Kalau tidak ingat amanah oma, mungkin lebih baik saya keluar saja. Abis peraturannya sangat banyak.

 MASA PENDIDIKAN

A.Seminari Menengah (SMA) San Domingo-Hokeng Flores Timur 1981 – 1985

Merupakan suatu kebanggan yang sukar dilukiskan dengan kata – kata, sebab mengenyam pendidikan di sekolah ini, bukan hal yang biasa atau gampang, segampang membalik telapak tangan. Hal ini terjadi karena calon siswa melewati ujian atau seleksi super ketat. 

Diawali dari keluarga (keturunan), perilaku, ketaatan pandangan keluarga tentang kehidupan membiara (selibat) dan lain sebagainya. Penilaian ini dilakukan dewan paroki setempat di mana calon siswa berdomisili untuk direkomendasikan ke Pastor Paroki setempat untuk mengambil surat pengantar dari pastor paroki, bahwa calon siswa tersebut memenuhi kriteria untuk mengenyam pendidikan disekolah tersebut.

Apabila tidak ada rekomendasi dewan paroki, maka calon siswa tidak bisa mengenyam pendidikan di sekolah tersebut, sekalipun status sosial keluarga calon siswa sangat mendukung. 

Materi pendidikan, umumnya tidak berbeda dengan pendidikan menengah umum lainnya di negeri ini. Akan tetapi, kekhususan sekolah ini adalah penambahan materi pengajaran dan sistem pendidikan. Penambahan mata pelajaran sebagaimana dimaksud, di antaranya dasar-dasar theologi filsafat skolastik, dan bahasa asing seperti bahasa Latin, Greco, Aramaic dan Hebrew.

Pelajaran bahasa asing tidak dibahas, di sini. Tapi sekilas saya ketengahkan mengapa filsafat skolastik terutama pengajaran – pengajaran St Thomas Aquinas yang ditekankan, dan bukan filsafat rasionalisme, humanisme dan lainnya. 

Teologi Thomas Aquinas (Filsafat Scholastic : Sebuah Tantangan Etis)

Disini sedikit saya ketengahkan mengapa Filsafat Scholastik yang diketengahkan. Hal ini terjadi karena filsafat ini memegang peranan yang sangat sentral dalam kata mengajar gereja (Teologi Magisterium).

Berawal pada 4 Agustus 1879, ketika Paus Leo XIII mendesak Gereja untuk secara khusus mempelajari filsafat terutama Thominisme, pengajaran St Thomas Aquinas. Perintah Paus ini disetujui, sekalipun banyak teolog tidak setuju, tapi dalam perkembangannya senang atau tidak mereka harus setuju, karena pengajaran dan karya tersebut mendominasi kata mengajar gereja sampai saat ini. 

Dalam nilai dan kebajikan eskatologis filsafat Thominisme (Scholastic), St Thomas membagi tiga aspek pengenalan manusia akan Allah. Pembagian ini kemudian disepakati menjadi ajaran resmi gereja, sebagai berikut :

1.Via positiva – Segala yang baik dari makhluk kepada Allah.

2.Via Negativa – Segala yang ada pada makhluk tersebut tidak ada pada Allah dengan cara yang sama

3.Via Iminentiae – Apa yang baik pada makhluk tersebut tentu berada pada Allah dengan  cara yang jauh melebihi keadaan mahluk tersebut.

Untuk membuktikan adanya Allah, st Thomas menggunakan lima cara. Adapun lima cara tersebut adalah sebagai beriukut :

1.Adanya gerakan, membuktikan adanya penggerak utama dan penggerak yang pertama itu adalah Allah.

2.Adanya akibat, membuktikan adanya penyebab yang pertama. Dan penyebab yang pertama itu adalah Allah.

3.Keberadaan sesuatu tidak ada karena dirinyasendiri. Hal ini menunjukkan adanya yang pertama, dan yang pertama itu adalah Allah.

4.Adanya perbandingan yang kita buat, sehingga pastiada pembanding sempurna. Dan pembanding sempurna itu adalah Allah.

5.Adanya benda – benda yang tidak berakal, sehingga pasti ada yang berakal. Dan yang berakal itu adalah Allah.

Konsep teologis St Thomas Aquinas yang bagus ini, dalam perjalanan sejarah dan perkembangan membawa akibat yang tidak kecil. Di mana – mana terjadi kemerosotan moral. Konsep tentang “sebab dan akibat” Allah dan ke Allah-annya karam dalam paguyuban manusia. Adalah gereja atau paguyuban yang berdiri di hadapan kursi pengadilan Kristus”. Tidak ada keselamatan di luar gereja ”. Perbedaan tajam dengan itu, para tokoh reformasi Protestan, cenderung menekankan pemilihan perseorangan dan rasa bersalah, condong lebih individualistik. Semua orang berdiri terlanjang di hadapan Allah.  

Mungkin ini adalah pengaruh menetap dari neo platonisme yang menekankan penemuan atas yang benar dan nyata di dalam penampakan – penampakan singkat dan fana. Keselamatan tidak didapatkan dengan memasuki realitas duniawi dari suatu paguyuban manusia yang terdiri atas darah dan daging, melainkan pengalaman individual berupa kelahiran kembali secara pribadi. 

Tantangan Etis 

Akan tetapi tantangan etis bagi moral Iman Kristiani yang muncul dalam kebagusan konsep filsafat scholastic diatas ini tidak kecil artinya. Munculnya tantangan ini berasal dari tiga jurusan yang berbeda :

1. Tantangan dan pengalaman spritual yang mendalam dari agama lain yang menantang praktek buruk dan dangkal dari kekristenan. 

2. Kebajikan dan kebaikan dari orang Islam (mu’min) dalam menjalankan kepercayaannya, mempermalukan egoisme dan bodoh dari orang Kristen.

3. Ada kejahatan besar di bidang sosial, ekonomi, politik dan agama yang dilakukan atas nama kekristenan.

Di beberapa tempat, kebudayaan non Kristen menghasilkan masyarakat yang memperlihatkan suatu keunggulan moral yang lebih baik. Peradaban barat telah gagal memberikan contoh universal bagi manusia.  

Lebih serius lagi ketika pengalaman keagamaan digunakan sebagai senjata untuk menindas orang lemah. Kritik Marx bahwa agama adalah candu bagi masyarakat, memiliki legitimasi kebenarannya didalam agama ini. Bahwa para biarawan memaksa pengikut-pengikutnya selama berjam – jam mengikuti sakramen, sementara kebutuhan mereka akan dapat ditangani atau diatasi dengan bekerja atau berpikir. 

Berbeda dengan sekolah-sekolah menengah umum lainnya yang ma’af belum memiliki sebuah sistem pendidikan (pengajaran) yang baik dan benar , Sistem pendidikan di sekolah ini adalah Humaniora suatu sistem pendidikan nilai dengan pendewasaan pikiran melalui analisa. Sistem ini sangat efektif dalam mendidik generasi muda, terutama calon-calon Imam (Pastor) yang merupakan komunitas pemikir. 

Siswa yang memasuki tahun keempat, diseleksi kembali oleh dewan pembina rohani untuk direkomendasika ke Sekolah Tinggi Filsafat –Teologi Kanoniek. Sehubungan dengan dua sekolah tinggi dari dua ordo yang berbeda, yakni ordo SVD dan Imam Praja (Pr), siswa yang telah menyelesaikan studi dapat memilih salah satu dari kedua sekolah tersebut yang tentunya harus diketahui atau atas persetujuan para dewan pembina atau pembimbing rohani dari sekolah tersebut. 

Tahap ini saya lewati dengan hasil yang sangat memuaskan dan direkomendasikan untuk menempuh pendidikan tinggi di bawah pembinaan ordo SVD yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Kanoniek yang berada di Ledalero – Maumere. STF – TK ST ARNOLDUS LEDALERO MAUMERE 

(Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Kanonik) 1985 – 1990

 Pendidikan di sekolah ini (seminari menengah San Dominggo Hokeng) saya selesaikan dengan hasil cukup menggembirakan, sehingga Pastor Yan Weys SVD meminta saya untuk mengembala di ladang SVD, Pada tahun itu juga diantar Pastor Yan Weys SVD ke Ledelero. 

Tahun pertama di bangku pendidikan ini, saya sudah dihadapkan pada sebuah kebenaran yang bisa saya katakan sangat tragis, kebenaran akan nilai – nilai iman kristiani, perlahan namun pasti mulai beranjak menjauh meninggalkan ketidakpastian nilai – nilai luhur yang telah tertanam sekian lama, membawa perubahan baru kedalam diri saya atas eksistensi pribadi sebagai makhluk religius – makhluk bermoral – mengantar diri saya ke dalam sebuah diri yang berpribadi.

Pengenalan diri berawal dari membaca beberapa literatur tentang dogma-dogma gereja, terutama yang ditulis Tertullianus yang berjudul : De Spectacullis edisi 1 – XXXVII. Dalam literatur tersebut, Tertullianus membahas beberapa kasus tentang dogma gereja tentang proses di mana Yesus diangkat menjadi Anak Allah menurut pandangan beberapa golongan, seperti Patrisionisme, Dosetisme, Ebionit, Adopsionisme, Albigensis; Apollinarianisme, Hypsitarian dan Gereja dalam sejarah pergerakannya. 

Guna memudahkan pembaca dalam mengetahui atau memahami beberapa aliran berbeda yang telah saya sebutkan diatas, berikut ini secara sekilas saya bahas dogma-dogma tersebut dan latar belakangnya. Adapun pandangan dari aliran–aliran tersebut adalah sebagai berikut : 

Patrisionisme 

Aliran teologi yang hidup pada abad kedua dan ketiga \yang berupaya menjaga kepercayaan gereja yang “monotheistis” dalam ketritunggalan Allah, Trinitas. \Aliran ini mengajarkan bahwa Allah Bapa juga turut menderita, dan mati sebagai Anak. Jikalau pendapat ini benar, maka benar terjadi dalam sebuah masa Allah itu tidak ada pada saat kematian dan dikuburkan selama tiga hari. 

Adopsionisme 

Aliran yang mengajarkan bahwa Yesus adalah manusia biasa yang bijaksana dan taat kepada Tuhan, karena itu kepadanya dipersatukan Roh Allah. Yesus melaksanakan perintah Allah dengan sempurna, sehingga ia (Yesus) diangkat ketingkat Ilahi sebagai Anak dan disembah sebagai Tuhan. Ajaran seperti ini untuk pertama kali ditemukan dalam golongan Ebionit dan dikembangkan oleh golongan Monarkhisme Dinamis pada abad kedua dan ketiga. 

Albigensis 

Aliran atau ajaran yang muncul dan berkembang di Albi, Languedoc, Perancis Selatan. Tidak diketahui persis tahunnya. Ajarannya bersifat dualistis, yakni mengajarkan bahwa sejak permulaan terdapat dua prinsip yang saling berlawanan, yaitu prinsip terang (kebaikan) dan prinsip Gelap (kejahatan). Dunia di ciptakan oleh prinsip kegelapan, sehingga dunia adalah jahat. Sedangkan jiwa baik dan kekal. Tubuh memenjarakan jiwa. Karena itu, keselamatan diartikan sebagai kelepasan jiwa dari penjara tubuh. Yesus adalah malaikat yang bertubuh semu, sehingga Yesus tidak sungguh – sungguh mati dan bangkit. Yesus hanya mengajarkan manusia tentang ajaran yang benar. Gereja Katolik Roma telah bobrok dan hanya mampu membuat pekerjaan (jahat).

Apollinarianisme 

Aliran atau ajaran yang muncul pada abad keempat diajarkan oleh Apollinarius dari Laodikea. Aliran ini mengajarkan manusia mempunyai tubuh, jiwa dan roh. Jika demikian maka Yesus yang manusia juga memiliki tubuh, jiwa serta roh. 

Arianisme 

Aliran atau ajaran yang muncul pada abad keempat ini dipelopori dan dipimpin Arius. Arianisme mengajarkan Anak Allah (Yesus) tidaklah kekal karena ia diciptakan oleh Bapa dari ketiadaan untuk tujuan penciptaan dunia, karena itu Allah Anak (Yesus) tidak sehakikat dengan Allah Bapa. Yesus adalah makhluk yang dapat berubah-ubah dan karena itu dapat dinasa, serta berdosa. Kemuliaannya sebagai Allah Anak dikaruniakan oleh Allah Bapa. Karena itu ia melaksanakan kehendak Allah Bapa.

Dosetisme 

Aliran / ajaran kekristenan yang mengajarkan Yesus tidak bersungguh – sungguh menjadi manusia, Yesus tidak sungguh-sungguh menderita, mati dan bangkit. Yesus hanya memakai tubuh semu. Yang disalib bukanlah Yesus tetapi Yudas Iskariot atau Simon dari Kirene.

Ebionit 

Aliran Yahudi yang muncul pada masa awal kekristenan. Aliran ini berkembang di timur sungai Yordan. Aliran ini mengajarkan : Yesus adalah anak Maria dan Yusuf. Roh Kudus telah turun ke atas Yesus dalam bentuk burung merpati. Aliran ini menekankan bahwa : Hukum Taurat masih berlaku. 

Hypsitarian 

Adalah sekte di Kapadokia yang hidup pada abad keempat. Sekte ini sering disebut sebut Gregorius dari Nissa dan Gregorius dari Naziantus dalam tulisan – tulisan mereka. Aliran ini menolak Allah sebagai Bapa. Allah hanya disembah sebagai raja tertinggi. Yesus tidak mendapat kedudukan atau posisi dalam proses penyembahan atau pemujaan.

Ketika semua permasalahan ini saya konfirmasikan kepada dosen pembina Rohani Pastor Dr Diaz Viera SVD, guna untuk mengetahui kedudukan atau status gereja Roma yang semakin membingungkan saya, beliau menjelaskan bahwa aliran atau ajaran – ajaran dogma sudah dikutuk oleh Gereja Resmi (Katolik). Bagaimana mungkin dikutuk ? Permasalahan ini sebenarnya sangat sederhana karena Siapa yang mengutuk dan siapa yang dikutuk tidaklah jelas. Dan yang pasti ajaran tersebut sudah menjadi dogma dalam Imam Kristiani. 

Seseorang yang bertanggung jawab hendaknya mengikuti segala sesuatu hanya bila ia memahaminya melalui metode Ilmu bahkan dalam hal ajaran agama hendaknya tidak diterima sebagaimana orang yang tuli dan buta. Sekalipun agama lebih tinggi dari akal, karena sejalan dengan akal atau tidak bertentangan, maka hendaknya didekati melalui jalan argumen yang masuk diakal, tentunya dengan metode yang kritis. 

Pembaca non muslim mungkin tidak sependapat dengan pandangan ini, bahwa hal atau pengajaran tadi sudah menjadi dogma. Hal ini saya katakan dogma karena cikal bakal pengakuan iman Kristiani atau yang lazimnya disebut dengan syahadat dua belas rasul yang dibongkar susun oleh Eusibius dan petinggi – petinggi gereja lainnya adalah hasil revisi dari pengakuan iman Arian, Athanasianum dan beberapa pengakuan iman lainnya yang tumbuh dan berkembang pada abad-abad pertengahan. 

Tanya terus bergelayut dalam benak saya dan semakin menambah beban akan kebenaran agama Katolik (Kristen),yang menurut pandangan saya adalah Agama Kompromi atau agama yang berdasarkan kesepakatan. Atau dengan bahasa yang sedikit vulgar, bahwa Katolik bukanlah  persekutuan atau tempat dimana jiwa manusia bisa berkontemplasi dengan aman, karena anda harus membayar mahal atas semua itu. Dengan bahasa yang sedikit ekstrim, bahwa katolik adalah organisasi mafia yang berkedok agama, sebab Roma Locusta Causa Finita. Nec ridere, nec Flere, nec laudara, sed intelligere.

Ketika permasalahan ini saya sampaikan lagi kepada senior Fr Karel K SVD, bukan jawaban yang saya terima, melainkan nasehat. Nasehat tetap membekas dalam lubuk batin ini. Adapun petikan nasehat dari fr Karel adalah sebagai berikut : “Diam itu sorga bagi manusia. Lewat bahasa diam sebenarnya kita bisa mendengar tentang banyak hal. Orang akan menerima begitu banyak suara yang masuk. Baik berupa informasi, keluhan, kabar kesukaan maupun kedukaan sampai suara yang hanya sambil lalu. Diam itu memperkaya kita. Dengan bahasa diam pula manusia bisa menelusuri kepekaan akan lingkungan sekitarnya”. 

Dalam kerangka Filsafat, terutama filsafat rasionalisme, nasihat dari senior ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada atau berlebihan. Akan tetapi menjadi sebuah kesalahan yang sangat fatal, sekiranya seseorang tersebut dalam memahami iman yang tumbuh dan berkembang didalam dirinya sendiri, bersifat dogmatis dan tidak dia pahami sama sekali. Apakah saya juga harus seperti itu ? Menggadaikan Iman saya hanya untuk sepotong roti dan segelas anggur ?

Nasihat para senior, terutama sifat diam, penurut dan taat, sekalipun bertentangan dengan ‘suara hati’, saya ikuti dengan baik, sekalipun sangat sering saya ngedumel. Hasilnya pada tahun keempat saya sudah mengikuti POP (Pekan Orientasi Pastoral) di Keuskupan Agung Kupang tepatnya Paroki St Yosef Naikoten II Kupang. 

Pada tahun kelima saya di thabiskan oleh Mgr Donatus Djagom SVD ‘Uskup Agung Ende di Ndona’ Ende Flores tengah, untuk menjadi gembala umat Katolik atau yang lebih sering disebut Romo atau Pastor. Semenjak itu saya mendapat predikat baru dalam pelayanan umat yaitu Bapa Pastor. Pada tahun yang sama saya ditugaskan untuk menimba ilmu “Missiology” di University St Thomas Graduate School – Manila Philiphines.

UNIVERSITY OF St THOMAS GRADUATE SCHOOL  – MANILA PHILIPPINES 1990 – 1991

Di Universitas ini, sebenarnya tidak ada hal – hal atau pelajaran yang saya anggap luar biasa. Apa yang saya pelajari di universitas ini hanyalah meneruskan apa yang telah saya pelajari sebelumnya, yaitu teologi dan seluk beluknya.  

Di universitas ini bathin saya kembali bergolak. Karena dalam pergumulan saya melawan suara hati sendiri, terutama tentang beberapa dogma dan aliran yang dipaksa bergabung dibawa panji gereja Katolik,saya kalah secara total. Haruskah saya menyerah kalah dan tetap menganut agama Katolik ataukah sedikit pintar dengan beralih keyakinan ? Saya harus beralih keyakinan. Akan tetapi niat saya ini tidak kesampaian karena saya sendiri tidak berani untuk mengambil keputusan.

Permasalahan ini terus menghantui benak saya, membawa perubahan baru dalam diri, merubah paradigma lama saya tentang Tuhan, dan membawa kebaruan dalam menempuh pendidikan saya selanjutnya. Hal ini saya buktikan dengan moto belajar saya sekalipun saya sudah mendapat gelar yang sudah dikukuhkan oleh petinggi gereja : Pastor ! Adapun motto belajar saya adalah sebagai berikut : Iman bukan ketaatan. Ketaatan bukan ketaqwaan, dan ketaqwaan bukan juga determinasi. Mengapa saya memilih motto ini ? Saya kira masalah ini sangat jelas karena bahasa diam. Harap ma’lum karena premis – premis nilai dari kebenaran iman Kristiani berasal dari hal-hal yang sebenarnya tidak benar,tetapi coba dibenarkan.

Permasalahan pertentangan dogma ini membuat saya tertarik untuk mempelajari ajaran agama Islam. Ada dua hal yang saya pelajari tentang Islam yaitu Islam dalam dimensi social dan Islam dalam dimensi Moral. Yang paling pertama dan utama adalah dimensi Moralitas. Dalam konteks ini, saya melihat bahwa Islam memandang moralitas manusia itu sendiri beradasarkan kenyataan. Lebih jauh dapat saya katakan bahwa kita tidak mungkin membicarakan moralitas tindakan manusiawi terlepas dari kenyataan hidup seseorang tersebut. Moralitas manusiawi senantiasa terpaut dengan pribadi manusia itu sendiri, yang mengandung ‘keharusan’ untuk bertindak. Harap saudara - saudara sekalian bisa membedakan apa itu Actus Humanus dan apa itu Actus Hominis.

 

Sebaliknya ajaran Kristen yang berpedoman pada buku-buku moral dari zaman klasik hingga dewasa ini masih belum mampu untuk membedakan pengertian ‘tindakan manusiawi’ (“actus humanus’ sifat personal dari tindakan manusia) dan tindakan manusia (‘actus hominis’) yang dicirikan oleh proses biologis, seperti bernafas, rasa sakit spontan, termasuk reaksi spontan yang mendahului tindakan intelectus dan kemauan seperti gerakan – gerakan pertama berupa kemarahan dan simpati. Maaf pembedaan dalam konteks ini tidak bersifat kaku, akan tetapi selalu ada hubungan yang erat antara tindakan yang disadari dan tak disadari. Maksud saya dalam suatu penilaian moral, unsur kejujuran dan keterbukaan diri manusia sangat berperan penting.

Yang kedua dalam bidang antropologi moral dan etika Islam, saya melihat bahwa Islam mengajarkan dan menekankan tentang kategori tanggung jawab yang merupakan unsur terpenting dalam ada didalam ada bersama dengan sesama. Perlu digaris bawahi, bahwa hanya tingkah laku yang bertanggung jawab dikenal sebagai tingkah laku moral. Moralitas suatu tindakan tidak terlepas dari tindakan bertanggung jawab. 

Problema utama yang saya alami dan saya hadapi selama ini yaitu Polytheisme dan Monotheisme, terjawab dalam moral dan etika Islam. Dalam Islam, sebagaimana yang saya pelajari, program pokok Islam dengan Al Qur’annya sebagai korektor adalah membebaskan manusia dari belenggu paham Tuhan banyak dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkap dalam kalimat negasi – Konfirmasi – yaitu Tiada Tuhan Selain Allah. Dari dasar itu dimulai proses pembebasan, yaitu pembebasan

dari belenggu kepercayaan kepada hal – hal yang palsu. Demi kesempurnaan kebebasan itu, manusia harus mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang benar. Sebab hidup tanpa kepercayaan sama sekali adalah hal yang mustahil. Senzale Opere A Morta !

Lalu bagaimana dengan moralitas “kasih” agama Kristen yang selalu menekankan konsep Allah adalah kasih dalam ada bersama ? Konsep kasih yang didengungkan oleh gereja, tidaklah lebih dari suatu pengukuhan relativisme etis Alkitabiah belaka,yang mencari pembenaran pembenaran. Sebagai contoh kasus,kita akan memahami, apabila ibu Theresa yang melayani orang orang miskin dan sekarat di India mengatakan Allah adalah Kasih. Sebaliknya kita akan pusing tujuh keliling jika Allah adalah kasih keluar dari bibir Charles Manson .Manson yang senang berasusila, masih juga memperoleh jatah pembenaran- pembenaran tindakan asusilanya.

Eugene Nida , diikuti Charles Kraft , mencoba meluruskan Manson dengan mengatakan bahwa Alkitab mengajarkan suatu “relativisme” kebudayaan. Maksudnya bahwa Manson tidak memperlihatkan ucapan yang dimaksudkan sebagai kasih, tapi tindakannya! Dengan bahasa yang lebih sederhana, adalah bahwa Semua kebenaran bersifat relatif. Kebenaran harus dibungkus oleh, atau diberi tubuh berupa, bahasa khusus yang menghubungkannya dengan suatu kepentingan atau keprihatinan dari kebudayaan tertentu.  

Dalam konteks ini, Nida dan Krafft mencoba membenarkan Manson. lebih jauh ketika mereka mengatakan :  “Hanya Allah Tritunggal-lah yang absolut dalam Iman Kristen. Hal apapun yang melibatkan (seorang manusia), yang fana dan terbatas, haruslah betul – betul terbatas, dan karenanya relatif. Relativisme kebudayaan Alkitabiah adalah suatu sifat dan ciri yang mengikat dan tidak dapat diubah dari agama Kristen yang memberitahukan penjelmaan Allah. Karena tanpa itu mereka tidak akan membuatkan lembaga-lembaga manusia atau merelativisasikan Allah.

Dalam konteks moral iman, antitesa Nurcholis Madjid dapat menjadi kerangka acuan dalam menyingkapi permasalahan ini. Nurcholis Madjid mengatakan bahwa : Iman kepada Allah, yang menumbuhkan rasa aman dan

kesadaran mengemban amanat Illahi itu, menyatakan diri keluar dalam sikap – sikap terbuka, percaya kepada diri sendiri (karena bersandar kepada Tuhan), dan karena ketenteraman yang diperoleh dari orientasi hidup kepada-Nya. Jika Iman membawa konsekwensi pemutlakan hanya kepada Allah, tidak ada lawan yang lebih prinsipil terhadap iman selain sikap memutlakan sesuatu selain Allah, termasuk sesama manusia. Dalam permasalahan ini kita dapat melihat suatu penegasan etis dalam ada bersama, bahwa etika moral dan kasih yang didengung-dengungkan oleh Gereja, tidaklah lebih dari suatu pengukuhan relativisme etis belaka. Suatu usaha untuk memberi jawab pada hancurnya konsensus moral dengan cara menggantikan bahasa kebaikan dan kebenaran dengan bahasa kasih sebagai hal pokok yang menentukan moralitas. Kasih menjadi suatu pembenaran, bagi keinginan dan kesukaan yang tidak teratur.

Suatu kejahatan sebagai buah maksud baik tentu dapat dimengerti atau dipahami. Tapi, bagaimanakah dengan suatu tindakan yang sebenarnya bermaksud dan bertujuan baik, tapi tindakan itu berdampak buruk atau jahat, apakah tindakan itu dapat dibenarkan secara moral ?  Seandainya bisa, dalam keadaan apa dan bagaimana ? Teologi moral dari abad XVI / XVII (Skolastik) mengajukan jawaban praktis dengan prinsip “tindakan berdampak ganda”, hingga sekarang, prinsip ini tersebar dalam dunia teologi moral. Prinsip ini masih sempat didiskusikan dalam beberapa dekade terakhir.Perhatian terhadap gagasan ‘prinsip tindakan berdampak ganda’ sebenarnya terkait dengan pandangan St Thomas Aquinas tentang ‘di luar maksud’ (prater inentionem’). Lebih lanjut St Thomas mengatakan bahwa tindakan manusiawi berdampak ganda (baik dan buruk) dapat dibenarkan secara moral kalau memenuhi empat syarat : 

1. Tindakan itu sendiri harus baik atau tidak berniat jahat. 

2. Dampak buruk / jahat yang ditimbulkan oleh suatu tindakan bukanlah maksud si pelaku tindakan (diluar maksud)

3. Dampak baik / positif tidak terjadi melalui dampak buruk.

4. Alasan munculnya kejahatan harus proporsional (berat).

Anehnya para analis teologi modern tidak berani mengingatkan Gereja tentang adanya perbedaan penting antara dampak yang diinginkan dan dampak yang tak diinginkan. Dampak buruk yang diinginkan seseorang dalam suatu tindakan tertentu tentunya tidak dapat dibenarkan. 

Pengalaman saya ketika menghadiri pertemuan Pastoral di Manila dapat menjadi contoh mulia dalam hal ini. Dari sederetan penyengaran spiritualitas immamat, akhirnya ada kesempatan yang sengaja dibuka untuk ummat awam mengungkapkan harapan, gambaran, tentang seluk beluk Immamat. Saat itu berdirilah seorang ibu setengah baya, berkaca mata, bergaun three pieces sederhana di depan mimbar, menuturkan pengalaman perjumpaannya dengan imam – imam yang kala itu duduk mengitarinya. Katanya ada gambaran kekudusan, ada sosok kebapakan yang penuh kesabaran. Ada yang kehadirannya saja mampu memberi suasana tentram di hati. Ada yang kalem, ada yang pendiam dan ada pula yang pemalu. Bermacam – macamlah. Sampai akhirnya suara ibu tadi berubah meninggi ketika ia mulai berani membuka hati, bertutur tentang keprihatinannya.

“Para pastor, sebagai salah seorang, jujur saya katakan, kami sesungguhnya tidak membutuhkan Anda – Anda sekalian. Ketika anda berdiri dan memperkenalkan diri sebagai ahli Sosiologi, ahli Anthropologi, ahli Psikologi, ahli Fisika, ahli filsafat dan ahli – ahli ilmu lainnya, terus terang kami sudah memiliki semuanya dan “maaf” seringkali kami malah lebih baik”.

Pernyataan ibu setengah baya ini, sepintas kelihatan konyol. Akan tetapi dengan berlalunya waktu, apa yang dikatakan sang ibu bukanlah hal yang tidak mendasar. Dengan kata lain, mereka telah belajar dari pengalaman tentang kebangkitan Yesus, yang selama ini menjadi pokok perdebatan theologis. Anda tentu akan bertanya, apa hubungan kebangkitan Yesus dengan pandangan atau tepatnya ‘omelan dari sang ibu ini,bahwa mereka ‘ummat’ memiliki nilai yang lebih dari para imamnya ? 

Dalam persepsi moral umum kepercayaan ummat kristiani (Katolik) status seorang pastor adalah wakil atau perantara dari Kristus (Yesus). Dengan penderitaan, kematian dan kebangkitannya, Yesus melegitimasi kata mengajar dalam Gereja yang dalam hal di perankan oleh para Pastor (biarawan). Atau dalam bahasa keren Gereja disebut: Theologi Magisterium. Kisah sengsara dan penyaliban Yesus adalah kisah mengenai dampak dari keberdosaan manusia. Kemampuan manusia hanyalah berbuat dosa, begitulah awal mulanya dalam bentuk dogma. Untuk mengatasi keberdosaan manusia itu, maka di buatlah pelbagai ritus agama, pelbagai aturan untuk “membersihkan manusia”. Segala segi kehidupan manusia lalu di atur sedemikian rupa sehingga “kekotoran dosa” sulit masuk. Untuk itu di butuhkan sarana “wibawa dan kekuasaan”. Bagi umat Kristen, kebangkitan Yesus tidak menjadi suatu persoalan. Bila toh kadang muncul pertanyaan tersebut, biasanya di titipkan ke dalam hati nuraninya sendiri yang sudah membatu. Karena kebangkitan adalah bagian dari trilogi : Sengsara,wafat dan bangkit yang sangat tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. 

Kebangkitan Yesus, sejak semula menimbulkan banyak tanda tanya yang tidak bisa terjawab. Bagaimana semua itu terjadi ? Bagaimana hal itu mungkin? Tidak ada orang di muka bumi ini yang pernah mengalaminya,yang dapat dimengerti sekalipun kebangkitan itu terlepas dari pengalaman empiris manusia, karena pada kenyataannya permasalahan tersebut sangat tidak masuk di akal. 

TERTARIK MEMILIH ISLAM

Menjadi setia merupakan tujuan dan idealisme hampir semua manusia. Namun seringkali mendatangkan kesulitan. Seorang polisi yang ingin setia dengan hati nuraninya. Ia berbuat jujur. Tetapi ia mengalami kenaikan pangkat yang lama dan gaji kecil. Sementara kebutuhan keluarganya terus menuntut untuk dipenuhi.  Sama halnya dalam berkomunitas. Seseorang yang setiap menyatakan kebenaran, bertentangan dengan kebiasaan buruk anggota komunitas cenderung dilecehkan. Bahkan mungkin orang tersebut

disingkirkan. Dalam diri kita pun kadang kesetiaan untuk mengikuti suara hati nurani terasa amat menyakitkan. Sehingga kesetiaan kepada suara hati nurani dibungkam. Lalu apakah kita harus bertindak seperti polisi dan maling ? Maling akan merajalela seandainya polisi tidak ada. Sedangkan seandainya polisi ada maka maling akan menjadi orang yang tidak mencuri.

Dari setumpuk permasalahan kebenaran yang semakin tidak karuan yang berawal dari seminari tinggi Ledalero ini memaksa saya untuk membuat atau menentukan pilihan atau persesuaian-persesuaian apa yang harus saya jalani. Pilihan saya jatuh kepada Islam. Akan tetapi permasalahan ini baru sebatas wacana, karena benih iman Islam itu sendiri sama sekali belum ada. Akan tetapi saya melihat bahwa Islam satu-satunya alternatif terbaik dari yang paling baik.

Melalui surat saya menceritakan permasalahan kepada Karel Kopong yang kabur ke Makasar karena perpindahan agama dari Katolik ke Islam, bahwa nilai kebenaran Kristiani sudah tidak ada dan saya bertekad untuk menganut Agama Islam, tetapi iman Islam belum ada. Saya tertarik memilih Islam karena wacana ideologinya.

Adapun wacana ideologi Islam yang menggoyahkan ke’aku’ an saya, adalah bahwa tindakan intellectus mendahului gerakan. Sebetulnya banyak sekali yang ingin saya urai tentang ‘tindakan tindakan intellectus’ tetapi kurangnya ruang untuk membahas hal ini secara mendetail dan mendalam, maka dalam kesempatan ini sekilas saya mencoba mendefenisikan tindakan intellectus, yaitu “Kenal Diri”.

Konsep kenal diri --- diawali dari kalimat Negasi Konfirmasi – Aku bersaksi Tiada Tuhan selain Allah. Yang perlu digaris bawahi disini adalah kata ‘bersaksi’.Bersaksi bermakna : melihat,mendengar,merasakan. Jadi orang yang bersyahadat adalah orang dewasa, baik dalam pikiran, perkatan maupun tindakan :Veritas est adaequatio Intellectus et Rhei --- 

Makna membersihkan ‘diri’ - berwudhu. Transendensi dari negasi-konfirmasi adalah membersihkan diri ‘berwudhu’. Membasuh tangan…. Jangan mencomot hak orang lain. Membasuh muka… menjauhi sifat sifat munafiq…Mata…melihat yang baik.. membasuh hidung.. jangan (tidak) mencari cari kesalahan orang lain. Kepala…selalu berupaya untuk berpikir positif…membasuh kaki….Berjalan di jalan yang lurus…subhannalah.

Karel Kopong menasehati saya untuk bersabar sambil mengkaji kembali semua persoalan yang ada guna untuk menentukan sikap dan atau mengambil keputusan. Soal tumbuhnya iman belakangan saja. Mungkin benar nasihat teman saya ini. Sebab, pada dasarnya setiap orang memiliki kebulatan hati dan keyakinan diri. Hanya saja tingkatannya berbeda. Hal ini akan tercermin dalam semangat juang kita sendiri. Kita tidak usah merasa nervous, jika kita percaya atas kemampuan diri kita sendiri. Saudara Jhon, berharaplah hanya kepada kepada Allah semata ! Sebab kita hanya patut bersyukur kepada-Nya, penolong dan Allah kita”. Demikian balasan surat dari saudara Karel Kopong. 

 NIJHMEGEN CHATOLICHEN UNIVERSITY.HOLLAND 1991 – 1993

Gereja menghargai prestasi atau karya putra –putranya, bukanlah semboyan kosong. Saya merasakan hal ini ketika masih di Philipina. Saya  mendapat beasiswa dari Gereja Ordo MSF untuk memperdalam materi. Missiologi dalam program Pasca sarjana (master of Divinity). Sebenarnya ordo MSF tidak berhubungan dengan ordo SVD dalam hal berkarya dan melayani umat.  

Karena pendidikan yang harus saya pelajari di universitas ini, adalah Inkulturasi dalam budaya Jawa yang merupakan tonggak ilmu Missiologi di Indonesia,tawaran tersebut saya terima dengan hati yang gembira tetapi sedikit enggan, karena pada saat itu saya sudah merencanakan untuk menganut agama Islam. 

Di Univeristas ini, keanehan dan kejanggalan tentang kebenaran agama Kristen-Katolik semakin kabur dan ngawur. Bagaimana tidak, semua dogma tentang ketuhananan setiap saat bisa berubah dan dapat dikebiri untuk melegitimasi suatu karya yang konon karena pekerjaan Roh Kudus. Mungkin benar, karena Gereja Katolik adalah organisasi Mafia yang berkedok agama, bahwa seseorang dapat berbicara dan berbuat apa saja asalkan untuk kepentingan gereja. 

Disamping saya mempelajari sastera Jawa yang merupakan tonggak ilmu missiology di Indonesia, saya juga ikut terlibat dalam beberapa organisasi pekabaran Firman Allah, baik organisasi yang terikat dengan Gereja katolik, maupun tidak. Sehubungan dengan kurangnya ruang untuk memaparkan masalah ini secara rinci dan mendetail, saya mengambil beberapa contoh yang dapat dijadikan acuan.

Contoh mulia dalam kasus ini adalah WCC (World Council of Churches). Pekabaran ini milik Gereja Pembaharu yang menjalankan missi perutusan untuk seluruh dunia akan tetapi secara organisatoris lembaga ini terpisah dari Gereja Roma Katolik. Itulah hebatnya Katolik, mengusir nyamuk tidak perlu senapan mesin, cukup semprot baygon. 

Di Indonesia, pola kristenisasinya sedikit unik. Disini saya katakan unik karena pekabaran di Indonesia melibatkan beberapa organisasi lain yang tidak berurusan dengan agama, seperti bergabung dengan negara-negara donor, yang bergabung dalam IGGI. Di organisasi ini, sebenarnya semua rencana kerja “pekabaran” dibahas. Untuk Indonesia metodenya sebagai berikut : 

KATOLIK 

Mencari orang non katolik (Islam) yang mempunyai massa atau cendekia, membantu dengan memberikan materi atau biaya pendidikan sampai pendidikan tinggi, atau suatu jenis bantuan yang sekurang-kurangnya membuat orang yang dibantu merasa berhutang budi. Metode ini sangat praktis dan hemat. Ketimbang menerbitkan brosur buletin atau buku dan majalah, yang dipastikan mempersempit ruang gerak mereka.  Lembaga – lembaga pendidikan Katolik baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi, harus memahami missi perutusan. Maksudnya brain washing (mencuci otak) siswa / mahasiswa non Katolik.

Dalam bidang politik (sektor pendidikan). Sistem pendidikan melalui Alm. Dr Daud Yusuf (mantan menteri pendidikan) dengan memasukkan kata pendidikan dalam pengajaran. Dibanding dua metode sebelumnya metode ini lebih berbahaya, lebih merusak ketimbang menghadirkan setan Lucifer. Hasilnya sistem pendidikan yang ada sekarang tidak bisa mendidik masyarakat untuk menjadi manusia. Maksudnya para sarjana tidak bisa bekerja, apalagi berkreasi dan berpikir. Kerjanya hanya mau menikmati saja. Berbeda dengan sekolah khusus Katolik, yang mendidik orang untuk bisa di segala bidang.  

Dalam bidang politik (ada bersama) Toleransi keberhasilan metode di atas tentunya harus ditopang toleransi. Sayangnya orang Islam tidak tahu membedakan pendapat orang dan orang pendapat, terutama dalam hal toleransi agama. Mengapa saya katakan tidak tau ? karena Toleransi berasal dari kata latin “tolerre” yang artinya memikul atau mengangkat. Memikul atau mengangkat ini adalah jenis pekerjaan yang berkonotasi memberatkan orang. Memikul dan mengangkat bermakna negatif. Jadi, orang bertoleransi adalah orang yang menyerah pada keadaan. Apakah kita juga harus menyerah pada keadaan ? Tentu saja tidak ! Apa yang saya kemukakan ini mungkin terlalu kasar. Akan tetapi sudah seharusnya saya kemukakan karena toleransi dalampraktek beragama adalah genjatan senjata.  

Sebetulnya saya tidak menghargai agama lain,seperti agama saya sendiri karena kalau demikian untuk apa tidak memeluk agama itu. Al Qur’an mengajarkan – Lakum Din Nukum Waliyadin - mengajarkan saya untuk menghargai pribadi dan pendapat orang lain yang memeluk agama lain, dan dalam konsep ini saya yakin bahwa bagi dia agamanya merupakan sesuatu yang sangat berharga baginya. 

Lalu bagaimana musyawarah untuk mufakat? Ini lebih celaka lagi ! Sebab musyawarah terdapat dimana-mana dipermukaan bumi, karena bermusyawarah adalah satu-satunya cara orang belajar untuk berdialog. Namun mufakat mengenai pendapat adalah hal yang sangat mustahil. Mufakat mengenai pelaksanaan itulah kerjasama sejati. 

Musyawarah selalu diadakan oleh sejumlah orang. Mereka orang berpendidikan, maka mempunyai pendapat pribadi. Bagaimana mungkin semua orang itu berpendapat sama. Kalau demikian pengikut musyawarah itu tak lain dan tak bukan adalah anggota kawanan yang sungguh tidak punya berkepribadian. Memaksa orang mengambil alih pendapat umum merupakan penghancuran kepribadian. Jadi mufakat mengenai pendapat adalah hal yang mustahil.

Lain pendapat mengenai pelaksanaan. Kalau jelas bahwa kebanyakan berpendapat demikian, padahal saya berpendapat lain, saya harus loyal dalam melaksanakan apa yang diputuskan oleh kebanyakan anggota pembicara atau dialog. Ini saya laksanakan tanpa perlu mengubah pendapat saya sendiri. Hanya kalau semua orang yang mengambil bagian dalam sebuah dialog memiliki kedewasaan untuk menerima pendapat orang lain, untuk dilaksanakan dialog antar agama mungkin.

Jangan lupa bahwa kita semua diciptakan untuk dicintai Allah swt. Membalas cinta itu hanya mungkin lewat menerima panggilan hidup kita sendiri. Akan tetapi orang lain melaksanakan hal yang sama. Memang kita tidak perlu dan bahkan tidak boleh menyesuaikan jalan hidup kita dengan keinginan-keinginan orang lain. Allah swt memilih kita. Bukan orang lain. Akan tetapi orang lainpun dipilih Allah swt, maka kita tidak boleh memaksa orang lain menempuh jalan hidup kita. Ini berarti tidak mungkin ada dialog antar agama. Mengapa ? Karena kita tidak menghargai agama lain. Agama lain itu bukan cara kita membalas cinta Allah swt. Yang dapat kita terima adalah ada orang yang beragama lain. Oleh karena itu yang mungkin adalah dialog antar orang yang beragama.

Nah dalam hubungan dengan tulisan ini, saya mau mengatakan bahwa saya hanya menghargai orang yang lain agamanya. Karena saya berpegang pada agama saya, tetapi justeru karena keyakinan saya itu, saya akan dan dapat menghargai pribadi-pribadi lain yang beragama lain. Dan dalam hal ini mengenai pendapat yang paling mendasar adalah Iman. 

Harus saya akui bahwa saya tidak dapat menghargai agama lain seperti agama saya sendiri, karena Iman saya adalah tunggal, dan saya juga tidak menghargai agama lain lebih daripada agama saya, karena sebab apa saya tidak menganut agama itu. Akan tetapi saya dapat berdialog dengan orang itu oleh karena saya menghargai dia sebagai pribadi yang memeluk agama lain, dan saya yakin bahwa bagi dia agamanya merupakan sesuatu hal yang paling berharga. 

Misalnya, saya menerima bahwa Yesus mengalami sesuatu pengalaman rohani yang sejati. Dan bahwa pengalaman rohani itu menjadi dasar agama Kristen. Jadi saya menerima dan menghargai Yesus sebagai seorang manusia rohani yang mendalam. Saya tidak toleran terhadap Yesus, karena Yesus bukan beban bagi saya, tetapi saya menghargai Yesus, sebab beliau dan saya diciptakan untuk dicintai Allah swt dan membalas cinta Allah swt ini dengan cara hidup sesuai dengan panggilan hidup masing masing. Kalau seseorang beragama lain menyerang saya, dan saya membalasnya, bisa juga dibilang toleran. Akan tetapi, suasana tetap suasana tegang. Kerukunan rineka (artifisial). Mustahil saya bisa rukun secara sungguh-sungguh dengan seseorang yang tidak dapat saya hargai.

Disini perlu saya tegaskan bahwa kerukunan antar orang beragama adalah bukan suatu upaya untuk menghindari konflik karena ‘saya’ tidak mungkin rukun dengan seseorang yang harus ‘saya’ dihindari. Salah satu prinsip pemerintahan yang bermaksud baik, akan tetapi ternyata mempersulit mengembangkan sikap berdialog. (Musyawarah untuk mufakat)

NON KATOLIK

Kristenisasi kemasyarakat awam dilakukan secara langsung, dengan beberapa metode yang terbagi dalam dua tahap. 

Tahap Pertama 

Jangka pendek ‘merekrut jumlah umat’ : melalui bantuan sosial berupa makanan seperti indomie, gula pasir dan lainnya. Metode ini cukup bagus, akan tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan karena terlalu banyak membuang energi dan biaya. Pekerjaan seperti ini biasanya dilakukan oleh gereja – gereja pembaharu seperti aliran Pantekosta. Gereja tua “Katolik” berdiri sebagai inkuisitor yang agung. 

Tahap Kedua 

Jangka panjang menerbitkan buletin atau brosur yang menyerang agama lain. Tahap ini tetap dilakukan oleh gereja – gereja pembaharu. Di Indonesia, pekerjaan mulia ini dikerjakan Yayasan Kerja Philia yang berkedudukan di Jakarta. Salah satu dari karya mereka adalah Buletin Da’wah Ukhuwah, menuju Jalan ke Sorga, Yesus dan Muhamad dan lainnya.

Kerja mereka ini masih terbilang amatir. Karena para biarawan yang sedianya dilibatkan dalam proyek ini, tidak diperkenankan oleh Sri Paus Yohanes Paulus II. keputusan sri paus ini dapat kita baca dalam dokumen Vatican II tentang status Indonesia dan biarawan dan biarawatinya. Bahwa Indonesia bukan target dan misi gereja Katolik. Tetapi anehnya ‘oknum-oknum’ gereja katolik di Indonesia tetap melaksanakan missi perutusan !

Beberapa metode yang dibahas diatas ini sebenarnya bukan hal yang baru karena sebagian umat Islam sudah mengetahuinya. Sekalipun demikian, gerakan Kristenisasi selalu berwajah banyak. Alangkah baiknya kita tetap waspada dan siap untuk mengantisipasinya. 

 GREGORIANA UNIVERSITY – ROMA – ITALO 1993 – 1995

Dari Nijhmegen, saya melanjutkan pendidikan ke Roma,tepatnya di Gregoriana University, guna menyelesaikan program doktoral dalam disiplin ilmu “Theology” Missiology. Program Doktoral dalam disiplin ilmu (Missiology) ini tidak bisa saya selesaikan, karena jiwa pemberontak yang dulu sempat terkubur di STF – TK St Arnoldus Ledalero kembali mengusik untuk segera mengambil keputusan, apakah selamanya saya menjadi orang bodoh dalam artian yang sebenarnya, dimana saya harus mengikuti segala sesuatu dengan taklid yang buta dalam azas guna dan manfaat dan menjadi sedikit ‘pintar’ dengan menganut agama Islam ? 

Segala tanya yang menghalang, segala ragu yang membendung, terjawab ketika saya diundang dan diminta menjadi pembicara dalam seminar diaspora : “Pergerakan” kemerdekaan Israel yang diadakan oleh teman teman mahasiswa Yahudi Amerika di Universitas Lateran -Roma pada tanggal 18–20 September 1994. Pembicara pertama Yonathan Samuel (Theolog Kristen Amerika keturunan Yahudi) mengatakan bahwa perang di tanah terjanji (Palestina) adalah perang Ideologi (agama). Wilayah Palestina sesuai dengan kentuan yang ada didalam kitab Perjanjian Lama adalah “tanah” yang dijanjikan oleh Allah kepada Ummat Pilihan Allah yaitu bangsa Israel. Perang ini terus berlanjut karena keserakahan Islam dalam menegaskan dirinya sebagai agama Pedang. 

Peserta seminar dari Calcuta Vajras Anand menanyakan, dari mana suplai makanan, senjata, pakaian, obat – obatan dan dana selama ini, dan dijawab Yonathan bahwa suplai selama ini berasal dari saudara – saudara kita’ di Eropa dan Amerika melewati Mesir. Sebagaimana kedua negara tersebut, selain Inggris tentunya yang paling berandil dalam sejarah penjajahan Israel atas wilayah Palestina. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Husni Mubaraq yang Presiden Mesir dalam seminar di Okhlahoma yang diselenggarakan oleh Ordo Yesuit. Saya hadir dalam acara tersebut.

Waktu itu, Husni Mubarak mengatakan Palestina lebih jahat ketimbang Yahudi. “Orang Palestina adalah setan besar yang harus diberantas”. 

Saya kaget ketika dikatakan bahwa Islam itu agama pedang. Mungkin pernyataan dari sdr Yonathan Samuel ini karena melihat Perang Salib yang selama dua abad tidak selesai - selesai. Dalam kesempatan itu diberi waktu untuk menganalisis Perjuangan Yahudi didalam merebut tanahnya kembali. Sungguh ini adalah sebuah kesempatan yang sangat luar biasa, sekalipun menurut pandangan Gereja sendiri adalah bukan hal yang luar biasa, karena yang diutus adalah warga Katolik Indonesia yang minoritas, dan disiplin ilmu saya adalah Missiology. Kesempatan tersebut tidak saya sia-siakan. 

Dalam kesempatan itu saya mengatakan Bahwa Perang ditanah terjanji ini, sebenarnya bukan murni perang Agama, melainkan ambisi perorangan dan politik kekuasaan. Kita tidak boleh menyalahkan Palestina atau negara Arab lainnya, biar bagaimanapun juga, mereka sendiri masih keturunan Abraham (Ibrahim AS). Sebagaimana tadi dikatakan saudara pembicara; Yonathan Samuel bahwa Islam adalah agama pedang adalah kurang bijak. Terlepas dari doktrin Islam yang mengharuskan umatnya untuk berperang dijalan Allah. Dasar pertimbangan saya adalah ajaran cinta kasih dalam Islam “Siapakah sesamamu” : Assalamu’alaikum Wr.Wb. Untaian doa…dalam kata mengajar…teladan yang meyakinkan ! Verba docent exampla trahunt.

Permasalahan Muhammad yang menjadi Nabi, rasanya tidak perlu kita bahas disini karena keyakinan kita menolak kenyataan tersebut. Sekarang kita melihat bahwa perang tersebut terus berlanjut, itu adalah sesuatu hal yang sangat wajar. Karena sebagaimana anda dan saya ketahui bahwa apabila dua orang Yahudi atau mereka yang merasa dirinya Yahudi bertemu, maka akan melahirkan tiga pendapat. Dua pendapat pertama adalah pertentangan dan pendapat terakhir perkelahian.  Demikian juga halnya dengan perkembangan agama kita dewasa ini. Agama jadi alat Amerika untuk menindas.

Mau bukti? Kekristenan, demokrasi, Amerikanisme, bahasa dan kebudayaan, pertumbuhan industri dan ilmu pengetahuan, lembaga – lembaga Amerika semua rumit dan membingungkan. Perenungan atas kebenaran mereka sendiri membuat orang-orang Amerika dipenuhi perasaan bergairah dan angkuh sehingga dengan begitu mudahnya mereka menyamakan kebenaran mereka dengan kebenaran Allah …. Kerajaan Tuhan … adalah khususnya nasih ras Anglo – Sakson yang ditentukan untuk membawa terang kepada bangsa – bangsa lain melalui lampu – lampu yang dibuat di Amerika dan kita sendiri tidak lebih dari boneka – boneka Amerika.

Selain itu, konteks penghayatan misteri Iman kita selama ini, masih terbatas pada ‘pengagungan’ pemimpin – pemimpin perang salib yang memakan banyak korban manusia dijadikan sebagai orang suci atau Santo, berwibawa yang harus dihormati, disembah, dipuja oleh ummat, karena mereka adalah pemimpin Kristen sejati. Yang dalam konteks kepercayaan Gereja adalah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan,sekecil apapun juga. Ironis! Teologi Magisterium seperti inikah yang mendidik kita?

Pernyataan tegas ini mengakhiri studi saya di Gregoriana University karena saya mendapat hukuman gereja yaitu ekskomunikasi Minor (Ekskomnikasi Toleratus) dan dipulangkan ke Indonesia.

Rabu, 07 Mei 2008

Naskah buku menguak (penggalan) latar belakang

Sepatah kata dari penulis

Assalamu’alaikum Warohmatullahi, Wabarokatuh

Manifestasi dari sikap iman yang baik dan benar - dimana dalam konsekuensi sikap iman ini memberikan penegasan kepada segenap umat manusia untuk mengatakan atau berbicara tentang kebenaran walaupun hanya sepatah dua kata, mengingatkan saya bahwa dalam membahas permasalahan seperti ini saya harus ada dalam wilayah bonum publicum.

Ada satu hal yang perlu saya garis bawahi tentang buku ini bahwa buku ini tidak berada dalam kerangka filsafat gnostic tetapi berada dalam kerangka moral umum Kristologi ; dimana Kristologi telah menjadi antropologi yang transendental dan antropologi sudah menjadi kristologi yang tidak sempurna untuk dikaji lagi secara lebih luas dan mendalam .

Sehubungan dengan Kristologi - antropologi yang transendental dan atropologi adalah kristologi yang tidak sempurna, maka yang perlu diperhatikan - berkaitan dengan persoalan ini adalah: Antropology transendental, yakni analisis filosofis – theologies atas manusia. Secara filosofis, manusia adalah keterbukaan terhadap ada serta keseluruhan.

Dalam keadaan yang kongkret, Dia sudah selalu sedang menunjukan dirinya dengan berusaha mengaktualisasikan dirinya, melampaui dirinya didunia, dan terarah kepada Allah. Mengapa ? Karena manusia itu tidak pernah ada disana atau ada begitu saja atau ada secara kebetulan. Dia adalah potentia oboedientialis, yakni potensi dari dalam bentuk terbuka, terarah dan mendengarkan firman Allah. Potensi ini identik dengan eksistensinya. Secara teologis, manusia adalah makluk yang diciptakan oleh Allah dengan akhibat bahwa dia ditentukan untuk mencari dan menanggapi Allah yang mengkomunikasikan atau mewahyukan diriNya sendiri secara penuh kedalam sejarah manusia.

Sebab eksistensi merupakan bagian ontologis kodrat manusia, sesuatu yang ada disana dan tentangnya kita semua tidak punya pilihan seperti kesejarahaan, ketergantungan, ada didunia, dan lain lain. Eksitensiel (eksistensi ?) menunjuk pada aktualisasi dari sesuatu yang sudah ada disana. Eksistensi manusia yang hakiki itu selalu ditetapkan atau di konstitusikan secara historis dan dengan demikian selalu berada dalam konfrontasi atau berhadapan dengan agama apapun baik sebagai rahmat maupun sebagai warta yang historis. Mustahil manusia memahami dirinya sendiri tanpa kaitan dengan pengalaman historis.

Pemahaman diri ini sebenarnya menunjukan bahwa dia adalah mahluk yang transenden, ‘terbuka’ dan ‘terarah’ pada ‘ada secara keseluruhan’. Keterarahan ini bersifat hakiki dan membuatnya ‘menjadi pribadi’. Dalam konteks ini, Islam dan Kristen memiliki persamaan.

Berdasarkan analisis filosofis-theologis tersebut kita dapat melihat bahwa hakekat manusia sebagai “roh yang berada didunia sekaligus sang pendengar atau penanti sabda”. Dalam konteks ini manusia dipahami sebagai mahluk yang – dalam setiap realisasi eksistensinya seperti aktivitas mengetahui dan bertindak bebas – sudah senantiasa mencari, merindukan, membutuhkan penyelamat dalam sejarah. Situasi eksistensial umat

manusia adalah berada dalam keadaan menanti atau mengantisipasi penyelamat mutlak.

Persoalan kristologi seperti ini timbul karena tiga faktor yaitu : 1. Pluralisme keyakinan, 2. kesadaran akan sejarah dan 3. konsep atau bahasa teologis yang kaku. Pertama : Pluralisme keyakinan. Hal ini berkaitan dengan kesadaran manusia modern akan dirinya sendiri sebagai subyek yang otonom, bebas dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dalam suasana itu, akal budi merupakan tolak ukur dan pengadilan tertinggi untuk menerima atau menolak apa yang diterima manusia baik dari segi tradisi maupun dari sejarah masyarakatnya. Kesanggupan akal budi dalam memecahkan masalah kehidupan dijunjung tinggi. Kesadaran yang demikian membuat agama dilihat sebagai hambatan bagi kebebasan individu dan tidak lagi menjadi satu satunya jaminan atau jawaban atas persoalan persoalan hidupnya.

Kedua : Kesadaran akan sejarah. Hal ini akan menyata dalam pendapat bahwa sesuatu yang historis tidaklah bersifat mutlak atau abadi. Waktu kini dilihat sebagai sesuatu yang langka, tak terulangi dan bergerak terus. Maka, peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam waktu yang bersifat kontingen, tidak niscaya dan karena itu, tidak perlu selalu menentukan hidup saya. Saya misalnya, dapat mengetahui peristiwa historis Yesus Kristus, namun tidak berarti bahwa peristiwa itu menyangkut makna terdalam dari seluruh kehidupan saya. Dalam suasana seperti itu, peristiwa historis Yesus tidak lebih dari mitology.

Ketiga : Konsep konsep Teologis yang kaku. Hampir semua orang kristiani menerima begitu saja rumusan rumusan iman yang diajarkan oleh katekismus resmi gereja, tanpa mengerti maksud dan maknanya. Kenyataan ini menimbulkan keterpisahan atau keterpecahan antara rumusan - rumusan iman resmi gereja dengan pengalaman kongkret sehari hari.

Dalam kebagusan konsep ini muncul pertanyaan serius : Manakah struktur dasar eksistensi manusia yang memungkinkan dia mendengar, menanggapi dan mengakui sabda Allah itu didunia atau sejarah ? Nec ridere Nec flere, Nec laudara sed intelligere !!

Mungkin terlalu filosofis pertanyaan dasariah ini. kan tetapi sudah seharusnya pertanyaan diatas ini dipersoalkan. sebab sublimasi kasus dan pertanyaan dasariah ini berada dalam etik filsafat dan etik teologis.

Memang Filsafat dan teologi berbeda. Tetapi tidak berarti bahwa kedua aspek ini tidak berhubungan satu sama lain. Filsafat menjadi teologi fundamental dimana kita merefleksikan perihal eksistensi keimanan kita dan pendasaran-pendasarannya. Maka, kesatuan filsafat dan teologi bermaksud menunjukan : pertama – eksistensi sebagai pertanyaan universal ; kedua – keterkaitan antara dimensi transendental dan histories didalam diri manusia yang memungkinkan penerimaannya akan Hidayah dari Allah SWT.

Transendental disini menunjuk pada dua hal yakni : filsafat transendental dan filsafat mengenai transendensi diri. Yang dimaksud dengan filsafat transendental adalah filsafat yang menyelidiki kondisi kondisi kemungkinan suatu tindakan pemahaman dan

pengetahuan. Kondisi kondisi tersebut merupakan struktur yang niscaya dan tak terhindarkan dari subyek yang mengetahui. Obyek obyek pengalamannya menjadi mungkin karena ada struktur tersebut.

Yang dimaksud dengan filsafat mengenai transendensi adalah refleksi atas pengalaman transendental yakni pengalaman akan keterbukaan atau transendensi dimana struktur pengalaman menjadi subyek dan karena itu struktur terakhir dari semua obyek pengetahuan kategorial hadir bersama dan dalam identitasnya.

Pengalaman transendensi ini tidak selalu disadari secara tegas. Ada tiga alasan orang mudah mengabaikan pengalaman transendental (transendensi) dirinya : yaitu kebanalan dan kenaifan ( tidak usah merefleksikannya karena lebih masuk akal untuk tidak memusingkan diri), kekecutan atau ketidak sanggupan lantaran mengelak untuk menghadapi pertanyaan pertanyaan terakhir, dan keterlibatan tanpa harapan diwilayah kategorial manusia yang mencapai puncaknya dalam pengakuan bahwa semua itu tidak bermakna.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa salah satu ciri utama dari kebudayaan modern ialah menjadi sentral kedudukan manusia ditengah tengah kosmos ini. Dengan kemampuan berefleksi secara kristis manusia kini menjadi subyek yang dapat menguasai alam, subyek yang menentukan perkembangan sejarah, tetapi terutama juga subyek moral yang otonom dan bebas. Akal budi menjadi tolak ukur yang menetukan apa yang baik dan buruk, apa yang sebaiknya dikerjakan atau sebaliknya diabaikan. Segala macam otoritas diluar dirinya dipertanyakan dan diuji juga secara kritis oleh akal budi manusia sebagai subyek. Dihadapan tahta pengadilan akal budi ini, otoritas lama yaitu gereja gugur.

Tetapi tidak hanya itu. Pemahaman diri secara baru sebagai pusat kosmos, sebagai subyek yang menentukan sejarah dan subyek moral yang otonom pada prinsipnya menolak segala macam perintah, aturan, yang berasal dari instansi asing diluar dirinya sendiri. Termasuk dalam instansi asing itu akhirnya Allah SWT sendiri yang selama ini dipandang sebagai instansi asing tertinggi. Pendek kata ; “dengan modernitas , kebenaran wahyu diuji dihadapan rasionalitas, legitimasi kekuasaan dipersoalkan melalui kritik, dan

kesahihan tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Sehubungan dengan semua persoalan diatas, maka materi perbandingan teologis dua agama yang berbeda ini hanya bersifat pemaparan data dengan sedikit analisis. Dalam kesempatan ini saya memaparkan beberapa rumusan tentang konsep dogma Gereja Kristen / Katolik dan pertentangan-pertentangannya, Keotentikan Kitab Suci, sumber teologi gereja, dan misteri penyaliban Yesus, tentunya disertai defenisi apa itu Kristen dan apa itu Katolik.

Demikian juga halnya dengan pembahasan tentang Islam. Pembahasan tentang Islam juga hanya dari beberapa aspek saja yaitu : Defenisi Islam, sumber teologi Islam, sejarah turunnya Al-Qur’an, pengumpulan naskah Al-Qur’an dan sedikit tentang riwayat hidup Muhammad SAW.

Saya berharap, semoga buku ini bermanfaat buat pencari-pencari kebenaran dan saya berdoa semoga Allah SWT menunjukan jalan yang benar dan lurus untuk kita semua. Amen.

DEDIKASI

Puji serta syukur atas segala ni’mat kasih dan karunia dari Allah SWT yang telah memberikan aku suatu ‘diri’ yang baru untuk kehidupan ‘yang lebih baru’ dalam menapaki sebuah determinasiatas atas kehidupan lain sesudah kematian ragawi, sebagaimana halnya dengan janji-Nya dalam kebajikan teologis, terutama dalam nilai eskatologis dalam Surah-surah yang diturunkan di Mekkah, yaitu janji selamat untuk penganut – penganutNya dan celaka untuk penentang- penentang Nya.

Ungkapan terimakasih yang sedalam dalamnya saya tujukan kepada bang S.M.Amien Kelly (Karni) dan keluarga, Bapa H. Nuzly Arismal dan Keluarga, Dr Fuad Bawazier dan keluarga, Bp Adi Sasono dan keluarga, KH Syuhada Bahri Lc, KH Kholil Ridwan Lc, bang Zunaidy T Sutan Nurdin dan keluarga, bang Amlir Syaifa Yasin, Mas Adi Sulthani M.A, Dr Rifyal Ka’bah. M.A., KH Maryadi M.Kewang, KH Abdul Rozak, KH Wahid Alwi Lc,Bang Tamsil Linrung dan keluarga, Bang dr Hariman Siregar, Ir Zainal Muhamad Saleh Mekotonda dan keluarga, Bp Joharudin Husein, sdr Suhendrawan dan keluarga, Yusuf Fajar dan keluarga singkatnya keluarga besar Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan semua pihak yang begitu rela dan ikhlas membantu saya dalam

mengenal diriku kembali.

Kiranya Kasih karunia Allah SWT selalu menuntun dan mengayomi langkah kita semua didalam mencari hadirat-Nya, dan semoga amal baiknya mendapat pahala yang berlipat ganda. Amien.

Jakarta 14 Juni 2007.

BAB I.

PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah.

Membaca dan menyimak apolloge Dr. Anis A. Shoros M.div yang berjudul : Kebenaran di Ungkapkan, Pandangan seorang arab Kristen tentang Islam – hasil perdebatannya dengan Ahmad Deedat di Birmingham (gedung Royal Albert Hall) November 1984, dan kemudian diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Yayasan Kerja Philia jakarta 1994, perlu untuk disikapi,mengingat bahwa semua point tentang kebenaran Islam di hilangkan dengan pemahaman yang menyimpang sebagaimana halnya dengan para penghujat Islam dalam membenarkan ajaran agamanya.

Dalam apollogi tersebut, Dr Anis. A. Shoros. M.div menegaskan bahwa Islam (Al-Qur’an) adalah rekayasa Muhammad yang terbesar dalam sejarah. Adapun petikan dari penegasan Shoros adalah sebagai berikut :

  • Ajaran ajaran Al Qur’an mengenai Allah, penciptaan alam semesta, Adam dan Hawa, dosa kejatuhan manusia,malaikat –malaikat, Sorga, Neraka, Abraham, Musa, suku Ibrani dan nabi-nabi telah diungkapkan dalam kitab Perjanjian Lama. Tidak ada sesuatu yang baru yang ditambahkan Muhammad. Mungkin beberapa dari padanya memang baru pada para pengikutnya, tetapi bagi Yahudi dan kristen mengetahui jauh lebih banyak dari kitab suci mereka.
  • Bagaimanapun juga, wahyu-wahyu Muhammad tidak lebih ulung daripada wahyu-wahyu yang diberikan nabi-nabi pendahulunya dan juga mereka tidak dapat memberikan bukti bukti solid tentang adanya wahyu Illahi yang baru. Semua kebenaran kebenaran tersebut diatas dan banyak lagi kebenaran lainnya, telah diungkapkan dan diajarkan berabad abad sebelum muhammad itu lahir.
  • Salah satu keterangan yang membingungkan dalam Al-Qur’an, memang dapat ditafsirkan sebagai wahyu walaupun tidak bersifat illahi yaitu mengenai pernyataan Al-Qur’an yang mengandung arti bahwa Alexander Agung dari Makedonia adalah salah seorang Nabi (Al-Kahfi 18 ; 83-100). Bagaimana mungkin seorang jenderal yang tidak mengenal Tuhan yang kematiannya diakhibatkan kesenangannya berpesta pora dan mabuk-mabukan pada umur 33 tahun pernah menjadi nabi Allah Yang Maha Kuasa.

Selain dari-pada itu Muhammad dalam mengajarkan wahyunya bergantung pada Kitab Perjanjian lama Kristen, yang telah ada ribuan tahun tersebut. Dr Anis Shoros menambahkan :

  • Sekiranya Islam dapat menelusuri asal mulanya dan nubuatan (ramalan) nya dari semenjak zama Ibrahim, maka kita seharusnya menemukan referensi tentang Allah,Muhammad, Mekkah, batu hitam Ka’bah serta upacara praktek Islam lainnya didalam kitab Perjanjian Lama .

Permasalahan tentang ayat ayat kitab suci Al-Qur’an, Anis Shoros mengatakan bahwa :

  • Banyak sekali terdapat ayat dalam Al-Qur’an disebut, yang di ‘ilhamkan’, yang telah terbukti asal usulnya dari kitab Perjanjian Lama, yang telah ada lebih dari seribu tahun sebelum nabi dari Arab itu lahir. Walaupun ayat-ayat Al-Qur’an dan Kitab Perjanjian Lama itu tidak sama akan tetapi cukup ‘serupa’ yang hal ini membuktikan ketergantungan Muhammad pada ajaran Kitab Perjanjian Lama untuk wahyunya.

Lebih lanjut Anis Shoros mengatakan bahwa :

  • Setiap pembaca Al-Qur’an yang mengenal Perjanjian Lama akan menemukan bahwa nama nama orang dan kejadian kejadian dalam kitab Perjanjian Lama serta nama nabi-nabi, benar- benar disalin kedalam Al-Qur’an, namun kisah kisah dalam Al-Qur’an sering berputar-putar dan membingungkan. Muhammad pasti telah mendengar kisah kisah ini dari teman-temannya orang Yahudi di Madinah, dimana dia tinggal pada waktu dia telah menerima hampir seluruh wahyu yang menjadi isi Al-Qur’an.
  • Isterinya yang pertama Khadijah, mempunyai latar belakang kristen. Isterinya yang ketujuh, Raihana, dan kesembilan Safiyyah adalah perempuan Yahudi. Isteri

kedelapan Mariam, adalah pemeluk bagian sekte Kristen.Tak diragukan lagi bahwa mereka telah membicarakan buku buku Perjanjian Lama dan Baru, drama dan ceritera Nubuatan.

  • Al-Qur’an mengambil nama-nama berikut dari Perjanjian Lama dari duapuluh delapan Nabi-nabi : Adam, Nuh, Abraham, Musa, Ishak, Yakub, Ismail, Yusuf, Daud, Sulaiman,Eliyah dan Yunus. (bandingkan kitab kejadian 4 ;1-16 dan Surah Al-Maidah 5 ; 27-32)
  • Waraq ibn Nofal, adalah salah satu paman nabi yang bertugas untuk menerjemahkan bagian-bagian Kitab Perjanjian Lama untuk mempengaruhi Muhammad dan wahyunya, karena salah seorang pamannya ini penganut Kristen Nestorian dan penerjemah Al Kitab. Demikian pula halnya dengan Khadijah, isteri pertama nabi Muhammad,yang juga adalah Kristen Nestorian. Dari semua permasalahan diatas ini maka akan lebih pantas disimpulkan bahwa : “ Islam bertumbuh dari kedewasaan politheisme dan budaya animisme yang dianut oleh suku Muhammad” .

Dr. Anis A shoros menegaskan dalam kesimpulannya sebagai berikut:

  • Al-Qur’an itu bukan firman Allah yang harus diimani, karena hanya satu agama dan kitab yang benar yaitu Agama Kristen dan Kitab – kitab Kristen. Jikalau Islam menolak atau membantah kenyataan ini, Islam harus bias membuktikan bahwa Al-kitab Kristen itu bukan firman Tuhan.

B. Maksud dan Tujuan

Melihat latar belakang permasalahan ini, saya merasa terpanggil untuk menyikapinya, tentunya dengan kepala dingin yang disertai dengan suatu rasa yang penuh tanggung jawab kepada saudara saudara sekalian (umat Islam), dimana dalam rasa tanggung jawab ini memberikan suatu arahan kepada diri saya atas “ fides quaerenes intellectum ”.

Adapun maksud atau tujuan saya menyikapi permasalahan ini adalah sebagai berikut;

1. Membentengi ummat dari dekadensi moral iman Islamiyah.

2. Ummat dapat memiliki sikap kritis, yang mana sikap kritis ini mendasari keterbukaan, karena merupakan kelanjutan sikap pemutlakan yang ditujukan hanya kepada Allah SWT dan penisbian segala sesuatu selain Allah SWT.

3. Umat ikut bertanggung jawab dengan dirinya sendiri,yang mengikuti segala sesuatu dengan metode ilmu.

4. Membuka ruang audiens dengan pemikir pemikir gereja dengan cara yang elegan.

5. Membuktikan bahwa ‘hanya Islam yang benar dengan sendirinya’ sebagaimana klaim logisnya sebagai korektor terhadap Kristen dan Yahudi.

C. Metodologi penulisan

Metodologi dalam penulisan buku ini adalah “Humaniora dalam aspek jurnalistik”, dimana inti dari penekanan dari metode ini adalah kedewasaan pikiran dan analisa.

Latar belakang saya memilih metode ini adalah melihat dampak psikososial perjalanan da’wah yang semakin pincang dimana umat menerima dogma-dogma kebenaran agama yang bukan dikarenakan kreatifitas daya nalar, melainkan oleh dotrin, lebih tepatnya saya bilang indoktrinasi.

Harapan saya dalam memilih metode ini adalah ; kiranya umat mampu dan siap menghadapi era keterbukaan dengan perwujudan iman Islamiyahnya.

statemen petinggi gereja

Statemen Cendekiawan Gereja tentang Bible dan konsep Dogma

1. Paus Yohanes XXIII. (965-972)

Communio Humoris Causa Dei. (Dalam Alkitab, Allah memiliki selera humor yang tinggi)

2. St Agustinus (filsuf dan pujangga dan Bapa gereja)

Credo Quaia obsurnebt (aku meyakini persoalan ini ‘trinitas’ karena tidak masuk akal).

3. Justynus Martir (Fisuf, pujangga dan Bapa Gereja)

Kekristenan adalah pemenuhan dari segala yang terbaik dalam filsafat, khususnya dalam ajaran Platonisme.

4. Dr. W Graham Scroggie dari Moody Bible Institute, Chicago:

"Injil bersifat manusia, meski beberapa orang yang tidak berdasarkan pengetahuan, mengingkari hal ini. Kitab-kitab itu telah melalui pikiran manusia, ditulis dalam bahasa manusia, dengan tangan manusia, dan mengandung gaya karakteristik manusia."

5. Kenneth Cragg, Uskup Anglican dari Yerusalem :

" Perjanjian Baru ..Terdapat penyingkatan dan editing,terdapat pilihan, reproduksi dan pembuktian. Di balik penulis Kitab tersebut terdapat pemikiran Gereja. Kitab tersebut mewakili pengalaman dan sejarah Gereja."